Rabu, 02 Desember 2015

Menjadi Guru : Pilihan atau Takdir

Sedari lahir ke dunia ini, tak pernah terpikirkan oleh kita mau jadi apa kita setelah dewasa nanti. Kedua orang tua kita semua pastilah mengasuh, membesarkan, mendidik agar kita menjadi orang yang baik, berguna dan berbakti kepada orang tua, agama dan bangsa. Tak ada orang tua yang menginginkan anaknya menjadi orang yang gagal dalam kehidupannya.Setelah masuk usia sekolah, kita semua disekolahkan, belajar agama, belajar moral dan etika. Hal dilakukan sebagai bekal hidup setelah dewasa.

Setelah dewasa kitapun tetap belajar seiring dengan kebutuhan hidup yang terus harus dipenuhi. Di saat dewasa inilah kita dihadapkan kepada sebuah tuntutan agar kita bisa memenuhi kebutuhan hidup. Untuk itulah kita diharuskan memiliki sebuah cara yang biasa kita sebut pekerjaan atau profesi.
Ada banyak cita-cita disaat kita masih kecil atau pada saat kita sekolah. Dulu cita-cita yang paling banyak disebut jika ditanya adalah ingin jadi dokter, insinyur, tentara atau polisi. Jarang sekali bahkan sedikit sekali yang ingin menjadi seorang guru.

Saya sendiri berkaca dari ayah, dulu sewaktu kecil sudah menjadi anak yatim, tak sedikitpun terbersit dipikirkannya untuk menjadi seorang guru. "Jangankan menjadi seorang guru, sekolah saja susah", demikian ayah saya bercerita dengan kami anak-anaknya. Namun seiring waktu, akhirnya profesi sebagai seorang guru Sekolah Dasar ditekuni ayah saya selama 37 tahun dengan beberapa kali mendapat penghargaan satya lencana dari pemerintah Indonesia atas pengabdian yang dilakukan hingga beliau pensiun di bulan Maret 2015 lalu.

Sedikit bercerita, pendidikan formal ayah saya hanya sampai SMP. Lalu setelah menikah dengan ibu saya, pada tahun 1975, Indonesia sedang gencar untuk mencerdaskan bangsa melalui pendidikan, sehingga pemerintah Indonesia membutuhkan banyak guru. Ayah saya mendapatkan kesempatan itu dan menempuh kursus pendidikan guru (KPG). Lalu dilanjutkan dengan Sekolah Pendidikan Guru (SPG). Hingga resmi diangkat menjadi CPNS pada tahun 1978.

Setelah saya masuk sekolah dasar saya baru menyadari bahwa di dalam keluarga besar saya lebih dari separuhnya berprofesi sebagai guru. Paman, bibi, uwak, bahkan ada kakek saya yang berhasil menjabat sebagai Kepala Penilik Sekolah ( kalau sekarang : Kadin Pendidikan).

Semakin bertambah usia saya, saya menyadari bahwa kehidupan keluarga saya yang terdiri dari ibu dan 4 orang anak dengan ayah kami sebagai guru tidak begitu  bagus dalam sisi ekonomi. Pasti kita tahulah alasannya, gaji sebagai guru  tidak mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Hal ini begitu saya rasakan. Saya dan adik-adik saya tidak bisa seperti teman-teman lain yang berasal dari kalangan berada.

Merasakan susahnya hidup dari keluarga seorang guru, memupuk hati saya bila nanti sudah saatnya saya tidak ingin menjadi seorang guru. "Demikian cita-cita saya. " Saya tidak ingin hidup susah seperti keluarga saya sekarang.

Namun dibalik itu semua, dengan semangat yang diberikan ayah dan ibu, kami tetap semangat menempuh pendidikan. Kami anak-anaknya tidak pernah mengecewakan kedua orang tua kami. Hingga saya sebagai anak tertua tamat SMA. Disinilah mulai cerita hidup dimulai, " Menjadi Guru : Pilihan atau Takdir ?"

Selepas SMA, pikiran saya mulai "galau", istilah anak zaman sekarang, mau melanjutkan kuliah rasanya tak tega melihat kondisi ekonomi keluarga. Tak melanjutkan kuliah mau jadi apa ? Dulu ayah saya menginginkan supaya bisa kuliah di universitas negeri, karena biaya murah, namun apa daya, saya tak lulus seleksi. Mau kuliah di luar kota di universitas swasta rasanya tak mungkin, pasti biayanya lebih mahal. Akhirnya diputuskan tidak melanjutkan kuliah dan fokus mencari kerja.

Mencari kerja bukanlah sebuah hal yang mudah. Berbekal ijazah SMA beberapa kali ikut seleksi penerimaan PNS, namun selalu gagal karena tak ada kroni dan uang. Akhirnya mencoba bekerja di perusahan swasta. Beberapa perusahaan sempat disinggahi dengan beberapa bidang pekerjaan dirasakan. Tapi apalah daya dengan hanya mengandalkan pendidikan SMA tingkatan pekerjaan hanyalah sebagai pekerja biasa atau bisa dikatakan hanya sebagai pekerja kasar. Hal inilah yang membuat kedua orang tua saya begitu sedih melihat keadaan saya. Mereka tak tega rasanya melihat anak tertua mereka bekerja sebagai pekerja kasar. Mereka berusaha membuka hati saya agar bisa melanjutkan pendidikan agar kelak bisa bekerja ditempat yang lebih baik. Akhirnya dengan memantapkan hati, setelah 2 tahun menjadi pekerja selesai SMA saya bertekad melanjutkan pendidikan di bangku kuliah.

Memilih jurusan di perguruan tinggi juga bukan merupakan hal mudah bagi saya. Sebenarnya dalam hati kecil saya dulu saya ingin sekali menjadi seorang diplomat. Tapi di belakang hari cita-cita itu hilang dengan sendirinya. Bertanya kepada teman-teman, kerabat, sejawat banyak yang menyarankan saya untuk memilih jurusan komputer, karena pada tahun 1996 itu jurusan ini adalah sebuah jurusan baru yang digambarkan memiliki masa depan cerah. Tapi ketika saya berkonsultasi dengan orang tua, ayah saya menyarankan untuk memilih jurusan pendidikan guru. (FKIP), sebuah jurusan yang sejak awal saya hindari karena pengalaman hidup yang saya rasakan sebagai anak seorang guru seperti yang diceritakan diawal. Akhirnya dengan mantap hati saya memilih jurusan Sistem Informasi di Sekolah Tinggi Manajemen Informatika dan Komputer di ibu kota propinsi tempat saya tinggal. Saya bertekad menempuh kuliah dengan cepat dan tidak terlalu membebani orang tua. Akhirnya dengan segala cerita di bangku kuliah, pendidikan saya selesaikan dalam waktu tepat empat setengah tahun dengan IPK yang lumayan tidak mengecewakan.

Setelah menyelesaikan kuliah, petualangan dimulai kembali. Mencari pekerjaan yang cocok dengan gaji tinggi yang diidamkan demi masa depan. Beberapa pekerjaan sempat disinggahi. Tapi pekerjaan yang paling bergengsi yang sempat saya rasakan adalah menjadi pegawai sebuah bank milik pemerintah daerah. Dengan dandanan rapi setiap pagi membuat iri orang lain. Kedua orang tua pun bangga melihat saya. Tapi setelah beberapa waktu menjalani pekerjaan ini, ada sebuah ganjalan dalam hati. Pekerjaan yang saya jalani ini tidak membuat nyaman di hati. Cara kerja dengan tuntutan tinggi dan tingkat persaingan pribadi antar pegawai yang tinggi dengan menghalalkan berbagai strategi demi ambisi pribadi. Dalam hati saya mengatakan saya bahwa pekerjaan ini, cara kerja dan suasana kerjanya tidak sesuai dengan pribadi saya. Apalagi saya yang baru pertama kali kerja dalam bidang ini. Akhirnya setelah dengan sedikit cerita konflik ditempat kerja ini saya berhenti. Sebuah hal yang amat disayangkan, begitu kata orang. Sebuah pekerjaan yang banyak diidamkan orang tapi saya tinggalkan. Tapi biarlah ini menjadi sebuah pengalaman berharga dalam hidup saya.

Selepas berhenti dari pekerjaan ini, saya kembali kerumah menjadi pengangguran. Ternyata menjadi pengangguran dengan gelar sarjana memang tidak enak, apalagi dengan gelar sarjana komputer. Banyak yang mengatakan sudah capek-capek kuliah malah jadi pengangguran. Tapi disinilah cerita saya dimulai kembali.

Sembari menganggur di rumah sambil mengerjakan pekerjaan rumah, sebuah tawaran datang dari seorang yang kebetulan tetangga lama saya. Pada saat itu, orang tuanya yang tinggal bertetangga dengan rumah kami meninggal dunia. Dalam suasana ta'ziah itulah dia melihat saya dan bertanya kenapa saya di rumah saja ? Apa belum bekerja ? Saya santai saja menjawab sedang mencari pekerjaan. Ternyata beliau pada saat itu sudah menjadi seorang Ketua Yayasan dari sebuah lembaga pendidikan dibawah naungan perusahaan minyak milik pemerintah yang dulu sangat terkenal di kota tempat tinggal saja. Saya ditawari sebuah pekerjaan yang sesuai dengan gelar sarjana saya. Apa itu ...? menjadi instruktur komputer di sebuah lembaga kursus komputer dibawah naungan yayasan tersebut. Wah....sebuah pekerjaan yang harus berhadapan dengan banyak orang pikir saya. Dengan rasa mantap hati saya terima pekerjaan itu. 

Setelah diterima dan masuk kerja..baru saya tahu bahwa lembaga kursus ini bekerja sama dengan sekolah-sekolah lain walau dibawah naungan yayasan yang sama, mulai dari SD, SMP hingga SMA. Disini petualangan saya sebagai guru dimulai..saya diminta untuk menjadi guru sekaligus teknisi komputer di sekolah-sekolah tersebut. Kok bisa...ternyata diawal tahun 2003 tersebut, di Indonesia ada mata pelajaran baru, namanya Teknologi Informasi dan Komunikasi yang secara garis besar kurikulumnya memuat materi komputer.

Seiring waktu pekerjaan ini saya jalankan tanpa ada rasa sesak dihati. Rupanya saya menikmati pekerjaan ini. Ya...sebagai seorang guru, sebuah pekerjaan yang dari awal saya hindari. Setahun...dua tahun saya tidak terpikir untuk meninggalkan pekerjaan ini. Sampai-sampai ayah saya berujar, " Kualat kamu...dulu kamu tidak mau jadi guru....tapi tetap jadi guru juga....". 

Seiring waktu saya sudah mengajar mulai dari jenjang SD, SMP hingga SMA dalam mata pelajaran yang sama yaitu Teknologi Informasi dan Komunikasi. Dalam pekerjaan ini saya bahkan sampai 3 kali merintis pembukaan laboratorium komputer. Hingga akhirnya saat ini saya menjadi guru tetap sebuah yayasan pendidikan di bawah naungan sebuah perusahaan yang dimiliki oleh group perusahaan yang berpusat di Tokyo, Jepang.

Menjadi guru teknologi informasi dan komunikasi saya nikmati dengan segala ceritanya. Di sekolah saya sekarang sarana prasarana disediakan dengan baik. Laboratorium komputer tersedia dengan perangkat komputer yang terkoneksi internet setiap hari. 

Hingga tahun kesepuluh saya menjadi guru TIK, akhirnya pergantian kurikulum dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Dalam kurikulum baru ini pelajaran TIK ditiadakan, sebuah mata pelajaran yang selalu ditunggu oleh peserta didik, sebuah mata pelajaran yang paling disenangi oleh peserta didik, yang membuat galau guru-guru TIK di Indonesia. 

Saya sudah merasakan dampak kurikulum tersebut diawal tahun pelajaran 2014/2015 yang lalu dimana jam mengajar untuk TIK ditiadakan. Rasanya gimana gitu...? Status guru tapi tidak mengajar dan bertemu peserta didik di kelas. Tapi saya berdoa dalam hati, terserahlah kurikulum apa saja yang dipakai semoga saja mata pelajaran TIK tetap ada. Karena sebuah keniscayaan bagi anak-anak kita, dimana zaman berkembang pesat dengan TIK-nya, tapi anak-anak kita tidak mendapatkan pendidikan TIK. Nasib guru-guru TIK masih menjadi tanda tanya, akankah saya bertanya kembali " Menjadi Guru : Pilihan atau Takdir...."



0 komentar:

Posting Komentar